Minggu, 13 Desember 2015

RIWAYAT DEPATI MARAJO ASAL DARI MUKAI HILIR


Oleh : Zarmoni

Sumber :

1.   Bapak MAT SALIM, Dpt gelar Rajo Indah Tuo Tunggun Negeri
2.   Bapak GINDO RASYID, Dpt gelar Depati Intan Kumalo Sari
3
                                             Makam Depati Marajo Mukai Hilir


Tigo Luhah Tanah Sekudung Siulak merupakan daerah yang mempunyai banyak historis dari dahulu kala. Konon, Pemimpin masyarakat nya banyak berasal dari Minang Kabau setelah Islam Masuk ke Kerinci.
Pada zaman dahulu kala, bumi sakti Alam Kerinci masih merupakan hutan lebat dan sedikit penghuninya. Penduduknya bekerja dengan cara tradisionil, seperti bertani, menanam padi tinggi yang panen sekali setahun dengan cara menuai.
Tersebutlah seorang pemuda yang bernama Dukun Marajo, dia tinggal disawahnya seberang sungai Batang Ayie Mukai, yang pada waktu itu beliau sudah memiliki seorang Isteri di Koto Lua (Mukai Hilir), sekarang beliau menghuni pondok disawah, menjaga sawahnya agar tidak diganggu oleh Babi Hutan dan hewan liar lainnya.
Pada suatu hari, sayup-sayup dari luar pondok, beliau mendengar suara tangis terisak-isak, lalu beliau berkata dari dalam pondok.
“Wahai suara yang menghiba, siapakah gerangan kisanak? Dari kaum bangsa Jin atau manusiakah?” Ujar Dukun Marajo seraya keluar dari pondokannya. Disana dibawah pohon besar duduk terpaku seorang pemuda.
“Maaf kisanak, saya sangat sedih, tiada lagi tempat saya mengadu..!” Jawab pemuda tersebut seraya menghapus air matanya.
“Dari manakah asal kisanak? Mari masuk dan istirahatlah didalam pondok bersama saya..!” ajak Dukun Marajo seraya menarik tiang pengalau (Tiang yang dipasang tali dan diujungnya digantungkan besi yang apabila ditarik akan berdenting) sehingga kumpulan burung pipit terbang melayang.
Setiba didalam pondok, pemuda tadi menceritakan hal ihwalnya. Dia diusir oleh sanak keluarganya dari negeri Tarutung Tinggi. Ia sudah lima hari lima malam berkelana menuju utara, tanpa tahu arah mana yang akan dituju. Tampaknya ia sedang berputus asa.
“Baiklah kisanak, kalau begitu katamu, silahkan tinggal dipondok ini, tinggalah bersama saya, kita bekerja disini dan anggaplah saya ini saudaramu..!” tenang Dukun Marajo.
“Terima kasih banyak tuan, saya tak tahu bagaimana nasib saya kalau tuan tidak ada...!” si pemuda mencium tangan Dukun Marajo.
Sudah tiga purnama, mereka bekerja, dan tidur bersama layaknya dua orang bersaudara kandung. Namun ada suatu hal yang mengganjal dihati Dukun Marajo, karena setiap sore setelah bekerja, mereka tak pernah mandi bersama, pasti Sipemuda akan mengelak setiap diajak oleh Dukun Marajo.
Suatu sore, timbul keinginan dihati Dukun Marajo untuk mengintip sipemuda waktu mandi, jangan-jangan sipemuda punya senjata rahasia untuk membunuhnya.
Dengan mengendap-endap, Dukun Marajo bersembunyi dibalik rimbunan pohon, dengan dada berdebar, Dukun Marajo sangat terkejut, ternyata dia bukanlah seorang pemuda, melainkan seorang gadis, bahkan rambutnya panjang dan dia memiliki tubuh seorang wanita, astaga... ujar Dukun Marajo, selama ini kami sudah tidur bersama, tetapi aku tak bisa tahu bahwa dia seorang gadis.
Lalu, Dukun Marajo menyuruh sipemuda tadi berterus terang ketika sampai dipondoknya. Sipemuda yang ternyata seorang gadis mengaku bahwa ia adalah seorang gadis yang diusir oleh saudaranya dari Tarutung Tinggi, ia terpaksa menyamar sebagai seorang pemuda agar aman didalam perjalanan.

Akhirnya, Dukun Marajo dan sigadis yang dikenal masyarakat Siulak Mukai sebagai “Ninek Gadis Jak Tarutung” menikah sesuai dengan adat istiadat waktu itu, entah secara animisme, Budhisme, Hinduisme, atau Islam, karena tak ada riwayat yang jelas tentang agama saat itu.
Lalu ketika anaknya lahir, Ninek Gadis Tarutung diajak bercocok tanam/berladang oleh Dukun Marajo di hilir Dusun Jambu Alo (Siulak Gedang). Mereka menanam jagung disana. Lalu dari sanalah asal-usul keterkaitan hubungan nasab/kekeluargaan antara orang Siulak Mukai dengan orang Koto Beringin. Asal dari Luhah Jagung yang bergelar Sko Jagung Tuo. Orang Siulak Mukai sebagai Anak Tuo dari Isteri Dukun Marajo di Koto Lua (Mukai Hilir), dan orang Koto Beringin sebagai Anak Mudo yang asal usulnya dari Ninek Gadih Jak Tarutung. Disiulak Mukai ada Lima Kalbu dan yang Keenam di Koto Beringin.
Maka, hingga saat ini warga Siulak Mukai punya “Arah” atau tanah warisan di Tarutung Tinggi yang bernama Arah Nas Ijau yang tidak terpakai, namun sampai sekarang tanah itu milik warga Siulak/ Siulak Mukai.

Dinukil dari lisan orang tua-tua dahulu, terbukalah sebuah legenda lainnya tentang anak manusia tiga bersaudara, yaitu Depati Marajo, Depati  Palimo Guling, dan Depati Palimo Siap.
Tiga bersaudara ini sangatlah sakti mandraguna. Mereka tinggal di seberang Sungai Batang Marao, yaitu Siulak Mukai Sekarang.
Konon pada zaman dahulu, sungai tempat mandi, mencuci, dan MCK bagi penduduk Siulak Mukai sangatlah jauh dari tempat pemukiman. Sehingga penduduk begitu sulit mengangkut air untuk kebutuhan sehari-hari, karena pada zaman itu, belum banyaknya penduduk, dan daerah masih merupakan hutan belantara yang lebat dan binatang liar seperti Gajah, Badak Sumatera, dan Harimau masih sering muncul.
Pada suatu hari, tiga bersaudara sepakat untuk memindahkan aliran sungai yang jauh agar mengelilingi Kecamatan Siulak Mukai, yang terbentang dari Tebing Tinggi menuju Mukai Hilir dan bertemu dengan Sungai Batang Merao di hilirnya.
Berhari-hari, tiga bersaudara membuat sungai dari Tebing Tinggi (Utara Siulak Mukai) menuju Mukai Hilir. Mereka bekerja dengan susah payah tanpa mengenal lelah. Kesaktian yang mereka miliki mereka kerahkan demi anak cucu mereka, untuk memindahkan sungai bagi kebutuhan warga.
Setelah sungai terbentuk disepanjang ranah Siulak Mukai, Depati Marajo dan saudara-saudaranya berencana untuk mencari ikan dengan memasang lukah, sementara Palimo Guling memasang lukah disebelah selatan, Sedangkan Depati Marajo mengontrol air di mudik seraya mengeruhkannya agar ikan lari keselatan. Dan Palimo siap menokok-nokok akar Tuba di tengah-tengah.
Menjelang sore, Palimo Siap mencari adiknya Depati Palimo Guling keselatan untuk mengecek lukah tersebut. Sesampainya diselatan, ia tidak menjumpai adiknya. Ia berteriak-teriak memanggil adiknya, namun tiada jawaban, yang ada hanyalah bunyi “Huh...huh... auuum... auuuummmuhhhh..!”
Akhirnya Palimo Siap terkejut melihat adiknya Palimo Gulin yang tertelungkup beransur-ansur berubah wujud menjadi harimau dan berguling-guling disemak belukar, lalu Palimo Siap datang menjenguk kakaknya dihulu dan berkata “Wo, coba lihat adik kita diselatan, ia telah beransur-ansur berubah wujud..!” kata Palimo Siap.
“Berubah wujud bagaimana? Ayo kita lihat” ajak Depati Marajo menuju ke selatan. Anehnya, Sipalimo Siap sudah menghilang dan tau-tau sudah berada diselatan juga sedang berubah wujud menjadi harimau.
Sesampai diselatan, Depati Marajo tidak menjumpai saudaranya. Ia berteriak memanggil Palimo Guling dan Palimo Siap, namun tiada jawaban, yang ada Cuma suara lenguhan harimau.
Ketika Depati Marajo menoleh kebelakang, ia mendapati dua ekor harimau. Dengan kesaktiannya, ia tahu bahwa saudaranya memilih “ghaib” sebagai Harimau. Lalu dengan kesaktiannya pula, Depati Marajo memilih untuk ghaib menjadi seekor Harimau.
Lalu, waktu berlalu, tahun berganti, masyarakat sudah bertambah banyak, dan Ilmu Pengetahuan merebak maju pesat. Namun satu hal bagi anak Kerinci khususnya anak Siulak atau Tigo Luhah Tanah Sekudung, dimana saja mereka berada, ketika ia dalam keadaan terjepit atau kesusahan, dan membakar kemenyan seraya menyeru “Nenek” Imau Siap, maka ia akan datang memberi pertolongan. Dan ketika anak Kerinci tersesat didalam hutan, ia akan memanggil Ninek Palimo Guling, maka ia akan menunjukan jalan dengan menampakan bekas gulingannya pada rerumputan.
Begitulah legenda yang merebak dimasyarakat, bahwa Depati Marajo, Palimo Guling, dan Palimo Siap telah mengghaib, dan sesekali masyarakat pernah berjumpa dengan Harimau Tiga Bersaudara, yang membedakan Depati Marajo dengan saudaranya adalah, ia berbentuk Harimau yang diubub-ubunnya terdapat bulu putih. Dan makam beliau terletak di Desa Koto Lua / Mukai Hilir dekat dengan sungai Batang Air Mukai di mudik Jembatan arah ke Sungai Langkap.
Benar atau salahnya ceritera ini hanya Allah SWT yang tahu, namun begitulah cerita yang penyusun dapat dari Ninek Mamak Siulak Mukai. Oleh karena itu penyusun mohon maaf yang sebesar-besarnya terutama kepada Ninek Mamak yang memakai Sko Depati Marajo di Mukai Hilir.

Kerinci, Maret 2013

Dinukil dari : Petua Siulak Mukai
<body oncontextmenu='return false;' onkeydown='return false;' onmousedown='return false;'/>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar