KISAH PERANG TANAH BULUDAI
Perang
Tradisi Masyarakat Siulak Mukai
Oleh
: Zarmoni
SUMBER :
1. Bapak MAT SALIM, Dpt gelar
Rajo Indah Tuo Tunggun Negeri
2. Bapak GINDO RASYID, Dpt gelar
Depati Intan
Kumalo Sari
Setiap daerah di bumi ini mempunyai kebudayaan dan
tradisi masing-masing. Dimana, setiap peradaban selalu datang dan pergi silih
berganti. Begitu juga yang terjadi disalah satu negeri di Tigo Luhah Tanah
Sekudung Siulak, yaitu Negeri Siulak Mukai.
Pada zaman dahulu, orang-orang masih lugu dan
kepercayaan akan roh nenek moyang masih kental dan sudah menjadi suatu keyakinan,
dimana setiap era suatu penduduk akan meninggalkan sejarah dan adat istiadat
yang berkesenambungan.
Ketika di Siulak Mukai baru terbentuk menjadi
negeri, datanglah musim tanam padi secara serentak. Namun setiap kali panen
kegagalan demi kegagalan terus berlangsung sehingga bahan pangan menjadi sulit.
Maka untuk mengatasi hal tersebut, duduk
berundinglah para Petinggi Siulak Mukai untuk mencari jalan keluarnya, dan
jawaban tersebut didapat secara ghaib, yaitu setiap habis tuai (panen padi)
masyarakat Siulak Mukai kaum laki-laki / Hulubalang wajib melaksanakan perang
“Tanah Buludai” yaitu dimana perang tersebut ialah saling melumuri teman dengan
tanah lumpur sawah.
Setelah didapat kata sepakat, maka tiga cabang
dari negeri Siulak Mukai waktu itu berangkatlah menuju lokasi perang tanah
buludai, yaitu diseberang sungai Siulak Mukai / didepan Rumah Adat Siulak Mukai
sekarang.
Dari
Mukai Mudik Berangkatlah :
1.
Depati Intan Tengah Padang
2.
Depati Intan Kumalo Jambi
3.
Depati Intan Panuko Rajo
Kemudian
ditambah lagi :
1.
Depati Intan Kumalo sari
2.
Depati Intan Tanah Mendapo
3.
Depati Intan Tanah Mataram
Dari
Mukai Tengah Berangkatlah :
1.
Rajo Sulah Depati Singado
2.
Rajo sulah Putih
3.
Rajo Sulah Kuadrat
Dari
Mukai Hilir Berangkatlah :
1.
Datuk Depati Panuku Rajo Meniti
Tiang Satio
2.
Datuk Depati Panuku Rajo Agung
Penghulu Karang Satio
3.
Datuk Depati Panuku Rajo Dewa
Nyato Permadani Hampa Pasko
Sesampai disawah yang terletak antara jalan Mukai
Pintu dan Jalan Sungai Langkap, para Depati saling berperang dengan melumuri
temannya dengan lumpur sawah (Tanah Loyek). Disamping itu, perang di tanah
buludai juga berlangsung untuk menghitamkan warna kain yang waktu itu berasal
dari kulit batang pohon yang lebih
dikenal di Kerinci sebagai Kain Trok.
Perang tanah buludai berlangsung setiap habis
tuai, yang disaksikan beratus-ratus penduduk Siulak Mukai, karena kalau tidak
demikian hasil panen tidak akan meningkat/ padi tidak bagus hasinya.
Oleh karena itu, para Petua Adat sepakat, bahwa
setiap habis musim panen mereka mengadakan tradisi Perang Tanah Buludai.
Namun
tradisi tersebut dihentikan dengan Keputusan Adat Siulak Mukai sekitar +
(lebih kurang) tahun 1980-han, dikarenakan waktu itu perang sudah bukan dengan
tanah lumpur saja, melainkan sudah main adu pukul kekuatan. Dimana para
Hulubalang sudah menukar nilai seni dengan kekerasan.
Ketika perang berjalan, salah seo rang “Alumnus” /
“Mantan” Hulu Balang Perang Tanah Buludai menegor agar para pemuda tidak lagi
berperang, karena kita sudah berbaur antara warga Mukai Mudik, Mukai Hilir dan
Mukai Tengah, semuanya bersaudara.
Namun sang pemuda tidak mengontrol emosinya dan
orang tua tersebut naik pitam, sehingga beliau meninggal dunia. Setelah
peristiwa itu, maka Tradisi Perang Tanah Buludai dihentikan sampai sekarang
ini.
Benar
atau salahnya cerita ini hanya Allah SWT yang tahu, namun begitulah cerita yang
penyusun dapat dari Ninek Mamak Siulak Mukai. Oleh karena itu penyusun mohon
maaf yang sebesar-besarnya terutama kepada Ninek Mamak yang memakai Sko di
Siulak Mukai jika terdapat kekeliruan didalam cerita ini.
Kerinci, Maret 2014
<body oncontextmenu='return false;' onkeydown='return false;' onmousedown='return false;'/>
Saya mintak izin Boleh kah artikel ini sebagai isi narasi dalam vidio youtube
BalasHapus