Minggu, 13 Desember 2015

LEGENDA PERANG TANAH BULUDAI

KISAH PERANG TANAH BULUDAI
Perang Tradisi Masyarakat Siulak Mukai
Oleh : Zarmoni

SUMBER :
1.   Bapak MAT SALIM, Dpt gelar Rajo Indah Tuo Tunggun Negeri
2.   Bapak GINDO RASYID, Dpt gelar Depati Intan
Kumalo Sari

Setiap daerah di bumi ini mempunyai kebudayaan dan tradisi masing-masing. Dimana, setiap peradaban selalu datang dan pergi silih berganti. Begitu juga yang terjadi disalah satu negeri di Tigo Luhah Tanah Sekudung Siulak, yaitu Negeri Siulak Mukai.
Pada zaman dahulu, orang-orang masih lugu dan kepercayaan akan roh nenek moyang masih kental dan sudah menjadi suatu keyakinan, dimana setiap era suatu penduduk akan meninggalkan sejarah dan adat istiadat yang berkesenambungan.
Ketika di Siulak Mukai baru terbentuk menjadi negeri, datanglah musim tanam padi secara serentak. Namun setiap kali panen kegagalan demi kegagalan terus berlangsung sehingga bahan pangan menjadi sulit.
Maka untuk mengatasi hal tersebut, duduk berundinglah para Petinggi Siulak Mukai untuk mencari jalan keluarnya, dan jawaban tersebut didapat secara ghaib, yaitu setiap habis tuai (panen padi) masyarakat Siulak Mukai kaum laki-laki / Hulubalang wajib melaksanakan perang “Tanah Buludai” yaitu dimana perang tersebut ialah saling melumuri teman dengan tanah lumpur sawah.
Setelah didapat kata sepakat, maka tiga cabang dari negeri Siulak Mukai waktu itu berangkatlah menuju lokasi perang tanah buludai, yaitu diseberang sungai Siulak Mukai / didepan Rumah Adat Siulak Mukai sekarang.

Dari Mukai Mudik Berangkatlah :
1.     Depati Intan Tengah Padang
2.     Depati Intan Kumalo Jambi
3.     Depati Intan Panuko Rajo
Kemudian ditambah lagi :
1.     Depati Intan Kumalo sari
2.     Depati Intan Tanah Mendapo
3.     Depati Intan Tanah Mataram
Dari Mukai Tengah Berangkatlah :
1.     Rajo Sulah Depati Singado
2.     Rajo sulah Putih
3.     Rajo Sulah Kuadrat
Dari Mukai Hilir Berangkatlah :
1.     Datuk Depati Panuku Rajo Meniti Tiang Satio
2.     Datuk Depati Panuku Rajo Agung Penghulu Karang Satio
3.     Datuk Depati Panuku Rajo Dewa Nyato Permadani Hampa Pasko
Sesampai disawah yang terletak antara jalan Mukai Pintu dan Jalan Sungai Langkap, para Depati saling berperang dengan melumuri temannya dengan lumpur sawah (Tanah Loyek). Disamping itu, perang di tanah buludai juga berlangsung untuk menghitamkan warna kain yang waktu itu berasal dari kulit batang pohon yang lebih  dikenal di Kerinci sebagai Kain Trok.
Perang tanah buludai berlangsung setiap habis tuai, yang disaksikan beratus-ratus penduduk Siulak Mukai, karena kalau tidak demikian hasil panen tidak akan meningkat/ padi tidak bagus hasinya.
Oleh karena itu, para Petua Adat sepakat, bahwa setiap habis musim panen mereka mengadakan tradisi Perang Tanah Buludai.
Namun tradisi tersebut dihentikan dengan Keputusan Adat Siulak Mukai sekitar + (lebih kurang) tahun 1980-han, dikarenakan waktu itu perang sudah bukan dengan tanah lumpur saja, melainkan sudah main adu pukul kekuatan. Dimana para Hulubalang sudah menukar nilai seni dengan kekerasan.
Ketika perang berjalan, salah seo rang “Alumnus” / “Mantan” Hulu Balang Perang Tanah Buludai menegor agar para pemuda tidak lagi berperang, karena kita sudah berbaur antara warga Mukai Mudik, Mukai Hilir dan Mukai Tengah, semuanya bersaudara.
Namun sang pemuda tidak mengontrol emosinya dan orang tua tersebut naik pitam, sehingga beliau meninggal dunia. Setelah peristiwa itu, maka Tradisi Perang Tanah Buludai dihentikan sampai sekarang ini.
Benar atau salahnya cerita ini hanya Allah SWT yang tahu, namun begitulah cerita yang penyusun dapat dari Ninek Mamak Siulak Mukai. Oleh karena itu penyusun mohon maaf yang sebesar-besarnya terutama kepada Ninek Mamak yang memakai Sko di Siulak Mukai jika terdapat kekeliruan didalam cerita ini.


Kerinci, Maret 2014
<body oncontextmenu='return false;' onkeydown='return false;' onmousedown='return false;'/>

RIWAYAT DEPATI MARAJO ASAL DARI MUKAI HILIR


Oleh : Zarmoni

Sumber :

1.   Bapak MAT SALIM, Dpt gelar Rajo Indah Tuo Tunggun Negeri
2.   Bapak GINDO RASYID, Dpt gelar Depati Intan Kumalo Sari
3
                                             Makam Depati Marajo Mukai Hilir


Tigo Luhah Tanah Sekudung Siulak merupakan daerah yang mempunyai banyak historis dari dahulu kala. Konon, Pemimpin masyarakat nya banyak berasal dari Minang Kabau setelah Islam Masuk ke Kerinci.
Pada zaman dahulu kala, bumi sakti Alam Kerinci masih merupakan hutan lebat dan sedikit penghuninya. Penduduknya bekerja dengan cara tradisionil, seperti bertani, menanam padi tinggi yang panen sekali setahun dengan cara menuai.
Tersebutlah seorang pemuda yang bernama Dukun Marajo, dia tinggal disawahnya seberang sungai Batang Ayie Mukai, yang pada waktu itu beliau sudah memiliki seorang Isteri di Koto Lua (Mukai Hilir), sekarang beliau menghuni pondok disawah, menjaga sawahnya agar tidak diganggu oleh Babi Hutan dan hewan liar lainnya.
Pada suatu hari, sayup-sayup dari luar pondok, beliau mendengar suara tangis terisak-isak, lalu beliau berkata dari dalam pondok.
“Wahai suara yang menghiba, siapakah gerangan kisanak? Dari kaum bangsa Jin atau manusiakah?” Ujar Dukun Marajo seraya keluar dari pondokannya. Disana dibawah pohon besar duduk terpaku seorang pemuda.
“Maaf kisanak, saya sangat sedih, tiada lagi tempat saya mengadu..!” Jawab pemuda tersebut seraya menghapus air matanya.
“Dari manakah asal kisanak? Mari masuk dan istirahatlah didalam pondok bersama saya..!” ajak Dukun Marajo seraya menarik tiang pengalau (Tiang yang dipasang tali dan diujungnya digantungkan besi yang apabila ditarik akan berdenting) sehingga kumpulan burung pipit terbang melayang.
Setiba didalam pondok, pemuda tadi menceritakan hal ihwalnya. Dia diusir oleh sanak keluarganya dari negeri Tarutung Tinggi. Ia sudah lima hari lima malam berkelana menuju utara, tanpa tahu arah mana yang akan dituju. Tampaknya ia sedang berputus asa.
“Baiklah kisanak, kalau begitu katamu, silahkan tinggal dipondok ini, tinggalah bersama saya, kita bekerja disini dan anggaplah saya ini saudaramu..!” tenang Dukun Marajo.
“Terima kasih banyak tuan, saya tak tahu bagaimana nasib saya kalau tuan tidak ada...!” si pemuda mencium tangan Dukun Marajo.
Sudah tiga purnama, mereka bekerja, dan tidur bersama layaknya dua orang bersaudara kandung. Namun ada suatu hal yang mengganjal dihati Dukun Marajo, karena setiap sore setelah bekerja, mereka tak pernah mandi bersama, pasti Sipemuda akan mengelak setiap diajak oleh Dukun Marajo.
Suatu sore, timbul keinginan dihati Dukun Marajo untuk mengintip sipemuda waktu mandi, jangan-jangan sipemuda punya senjata rahasia untuk membunuhnya.
Dengan mengendap-endap, Dukun Marajo bersembunyi dibalik rimbunan pohon, dengan dada berdebar, Dukun Marajo sangat terkejut, ternyata dia bukanlah seorang pemuda, melainkan seorang gadis, bahkan rambutnya panjang dan dia memiliki tubuh seorang wanita, astaga... ujar Dukun Marajo, selama ini kami sudah tidur bersama, tetapi aku tak bisa tahu bahwa dia seorang gadis.
Lalu, Dukun Marajo menyuruh sipemuda tadi berterus terang ketika sampai dipondoknya. Sipemuda yang ternyata seorang gadis mengaku bahwa ia adalah seorang gadis yang diusir oleh saudaranya dari Tarutung Tinggi, ia terpaksa menyamar sebagai seorang pemuda agar aman didalam perjalanan.

Akhirnya, Dukun Marajo dan sigadis yang dikenal masyarakat Siulak Mukai sebagai “Ninek Gadis Jak Tarutung” menikah sesuai dengan adat istiadat waktu itu, entah secara animisme, Budhisme, Hinduisme, atau Islam, karena tak ada riwayat yang jelas tentang agama saat itu.
Lalu ketika anaknya lahir, Ninek Gadis Tarutung diajak bercocok tanam/berladang oleh Dukun Marajo di hilir Dusun Jambu Alo (Siulak Gedang). Mereka menanam jagung disana. Lalu dari sanalah asal-usul keterkaitan hubungan nasab/kekeluargaan antara orang Siulak Mukai dengan orang Koto Beringin. Asal dari Luhah Jagung yang bergelar Sko Jagung Tuo. Orang Siulak Mukai sebagai Anak Tuo dari Isteri Dukun Marajo di Koto Lua (Mukai Hilir), dan orang Koto Beringin sebagai Anak Mudo yang asal usulnya dari Ninek Gadih Jak Tarutung. Disiulak Mukai ada Lima Kalbu dan yang Keenam di Koto Beringin.
Maka, hingga saat ini warga Siulak Mukai punya “Arah” atau tanah warisan di Tarutung Tinggi yang bernama Arah Nas Ijau yang tidak terpakai, namun sampai sekarang tanah itu milik warga Siulak/ Siulak Mukai.

Dinukil dari lisan orang tua-tua dahulu, terbukalah sebuah legenda lainnya tentang anak manusia tiga bersaudara, yaitu Depati Marajo, Depati  Palimo Guling, dan Depati Palimo Siap.
Tiga bersaudara ini sangatlah sakti mandraguna. Mereka tinggal di seberang Sungai Batang Marao, yaitu Siulak Mukai Sekarang.
Konon pada zaman dahulu, sungai tempat mandi, mencuci, dan MCK bagi penduduk Siulak Mukai sangatlah jauh dari tempat pemukiman. Sehingga penduduk begitu sulit mengangkut air untuk kebutuhan sehari-hari, karena pada zaman itu, belum banyaknya penduduk, dan daerah masih merupakan hutan belantara yang lebat dan binatang liar seperti Gajah, Badak Sumatera, dan Harimau masih sering muncul.
Pada suatu hari, tiga bersaudara sepakat untuk memindahkan aliran sungai yang jauh agar mengelilingi Kecamatan Siulak Mukai, yang terbentang dari Tebing Tinggi menuju Mukai Hilir dan bertemu dengan Sungai Batang Merao di hilirnya.
Berhari-hari, tiga bersaudara membuat sungai dari Tebing Tinggi (Utara Siulak Mukai) menuju Mukai Hilir. Mereka bekerja dengan susah payah tanpa mengenal lelah. Kesaktian yang mereka miliki mereka kerahkan demi anak cucu mereka, untuk memindahkan sungai bagi kebutuhan warga.
Setelah sungai terbentuk disepanjang ranah Siulak Mukai, Depati Marajo dan saudara-saudaranya berencana untuk mencari ikan dengan memasang lukah, sementara Palimo Guling memasang lukah disebelah selatan, Sedangkan Depati Marajo mengontrol air di mudik seraya mengeruhkannya agar ikan lari keselatan. Dan Palimo siap menokok-nokok akar Tuba di tengah-tengah.
Menjelang sore, Palimo Siap mencari adiknya Depati Palimo Guling keselatan untuk mengecek lukah tersebut. Sesampainya diselatan, ia tidak menjumpai adiknya. Ia berteriak-teriak memanggil adiknya, namun tiada jawaban, yang ada hanyalah bunyi “Huh...huh... auuum... auuuummmuhhhh..!”
Akhirnya Palimo Siap terkejut melihat adiknya Palimo Gulin yang tertelungkup beransur-ansur berubah wujud menjadi harimau dan berguling-guling disemak belukar, lalu Palimo Siap datang menjenguk kakaknya dihulu dan berkata “Wo, coba lihat adik kita diselatan, ia telah beransur-ansur berubah wujud..!” kata Palimo Siap.
“Berubah wujud bagaimana? Ayo kita lihat” ajak Depati Marajo menuju ke selatan. Anehnya, Sipalimo Siap sudah menghilang dan tau-tau sudah berada diselatan juga sedang berubah wujud menjadi harimau.
Sesampai diselatan, Depati Marajo tidak menjumpai saudaranya. Ia berteriak memanggil Palimo Guling dan Palimo Siap, namun tiada jawaban, yang ada Cuma suara lenguhan harimau.
Ketika Depati Marajo menoleh kebelakang, ia mendapati dua ekor harimau. Dengan kesaktiannya, ia tahu bahwa saudaranya memilih “ghaib” sebagai Harimau. Lalu dengan kesaktiannya pula, Depati Marajo memilih untuk ghaib menjadi seekor Harimau.
Lalu, waktu berlalu, tahun berganti, masyarakat sudah bertambah banyak, dan Ilmu Pengetahuan merebak maju pesat. Namun satu hal bagi anak Kerinci khususnya anak Siulak atau Tigo Luhah Tanah Sekudung, dimana saja mereka berada, ketika ia dalam keadaan terjepit atau kesusahan, dan membakar kemenyan seraya menyeru “Nenek” Imau Siap, maka ia akan datang memberi pertolongan. Dan ketika anak Kerinci tersesat didalam hutan, ia akan memanggil Ninek Palimo Guling, maka ia akan menunjukan jalan dengan menampakan bekas gulingannya pada rerumputan.
Begitulah legenda yang merebak dimasyarakat, bahwa Depati Marajo, Palimo Guling, dan Palimo Siap telah mengghaib, dan sesekali masyarakat pernah berjumpa dengan Harimau Tiga Bersaudara, yang membedakan Depati Marajo dengan saudaranya adalah, ia berbentuk Harimau yang diubub-ubunnya terdapat bulu putih. Dan makam beliau terletak di Desa Koto Lua / Mukai Hilir dekat dengan sungai Batang Air Mukai di mudik Jembatan arah ke Sungai Langkap.
Benar atau salahnya ceritera ini hanya Allah SWT yang tahu, namun begitulah cerita yang penyusun dapat dari Ninek Mamak Siulak Mukai. Oleh karena itu penyusun mohon maaf yang sebesar-besarnya terutama kepada Ninek Mamak yang memakai Sko Depati Marajo di Mukai Hilir.

Kerinci, Maret 2013

Dinukil dari : Petua Siulak Mukai
<body oncontextmenu='return false;' onkeydown='return false;' onmousedown='return false;'/>

Dongeng Anak Patu Dan Keong Putih (Cerita Bahasa Siulak)

ANAK PATU DAN KEONG PADEK MANANDAI
Directed by : Zarmoni

Pado suatu ahi dak, ado anak kcik bajantan, biasonyo uhang suah lusun Jambu Alo maso itu ngimbaunyo tu dak anak Patu. Piyo dikato ka anak Patu? Kareno nyo agi kcik lah mati ndu nga apanyo. Apo gawenyo anak patu ini? Tiap ahi nyo masang lukah belut (Appliance Arrester of eel).  Anak Patu ini dak ambunnyo kusut kjang pulo samo nga ijuk, tai matonyo banyak, ingonyo bajulun, nyo kno cacin pulo, phut gdang kaki tangan kcik maklum dak maso itu nyado lun kalua Combantrin.
Uahng suah lusun Jambu Alo waktu itu dak di parintah nak Tuo Rajo, namonyo Rajo Mbuh Galo. Rajo Mbuh Galo ado nahu anak gadih kcik pulo glanyo Supik Jintan Permata Sari Gdang Uta. Uhengnyo nduk aii, yo nyan iluk ee, kulinnyo putih campu itam hehehe… kno panau ndan. (maaf Cuma nguta), kulinnyo Supik ini yo nian putih mulus, langsing ee, kalunyo tgak dak idak tabeda di kito mano Drom mano nyo. Trus, ambunnyo panjang (my heart craving) itam makilat pulo, matonyo sipit samo nga mato anak hang Jepang.
Pado suatu ahi, anak Patu ini banyaknyan muli blut, lalu dicucuknyo kak umput, dijinjeknyolah ahi kak lusun Jambu Alo. Cikau nga mli (waktu itu dak alat tukar menukar idak kipeng dah, tapi balibai nitun), ado nga nuka dingan breh payo, ado pulo nga nibai dingan pisang, pukoknyo macam-macam lah.
Jadi dak, banyak nyo nahu pamaken, ndih tabayang di aku, awak paso, tabayang pulo di cindu nduk Tarulun lik pasa sore sulak gdang hehehe…
Pindek kato, pindek carito , itulah gawenyo anak Patu ini.
Pado suatu ahi, waktunyo mangkin ka lukah dak sipuluh wah nyo masang, samilan wah dak nyado nyan lapat blut, tibo di lukah ngan suah dak alias lukah tarahir, tibo-tibo adonyo puli keong Mas lalem. “Nduk ai, ahi ini awak baharap nak nda pamaken, tapi nga lapat cuman keong, untuk apo kna nyo nak ini…. Keong jaek..” kato anak Patu, tapi tibo-tibo Keong itu manandai “Iheh… po ngato kanti nitun, awaknyan jaek ugo he” “Wacau… ini Keong nga manandai..?” anak Patu tilumpat he, “Iyo, aku nga manandai, po ngato ka aku jaek, awak nyan jaek ugo..!” kato keong pulo. “Mano pulo, gaya aku pada mpun..!” kato anak Patu same nekan pinggeng nyo..!” “Wa idak, mpun nyan phut mpun taclin kno cacin, tai mato samo gdeng nga tinju..!” kato keong maneh pulo. “Kurang aja keong tai… mati mpun.. prack.!!!”Anak Patu maneh pulo, go ditijak nyo keong tersebut dak, ancu keong alias matinyo.

Jadi cirito ini dak anak Patu idut sangsaro salamonyo. Cubo idak nyo bacekak nga keong itu, bulih mbuh samo nga cirito Latung Mak Karbit sla he, bulih mbuhnyo kayo anak Patu, tapi ni bacekaknyo, yo nyado jadi Kayo anak Patu. Itulah anak Patu Sengsara membawa Petaka. The End.


Sabtu, 12 Desember 2015

DONGENG ASAL USUL SUNGAI BATANG MERAO








Oleh : Zarmoni

Syahdan dizaman dahulu kala di pinggiran sungai yang besar di Negeri Antau Jauh, hiduplah sepasang suami isteri dengan seorang anak semata wayangnya. Kehidupan mereka begitu damai, setiap hari suami-isteri tersebut hidup bercocok tanam, sedangkan anaknya bekerja seraya memancing ikan disungai besar yang mengalir deras airnya.
Rumah mereka memang agak terpencil dari rumah para penduduk desa Jambu Alo. Sungai yang besar tersebut banyak mengandung Ikan, Siput, dan Tengkuyung (Siput panjang). Memang sungai tersebut merupakan sarana bagi penduduk untuk mengambil ikan untuk dikonsumsi dan dijual.
Kehidupan sepasang suami isteri tersebut kian hari makin harmonis dan rukun. Anak semata wayang mereka begitu elok dan baik hati. Semua masyarakat dusun Jambu Alo waktu itu begitu senang bergaul dengannya.
Memang, didalam Al-qur’an Allah menegaskan bahwa : “Apakah kamu kira kami membiarkan saja kamu mengatakan “kami telah beriman” sedangkan tidak diuji lagi?” kira-kira begitu salah satu bunyi Firman Allah. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat dielakkan, suatu hari, hujan begitu deras dari pagi, sementara si anak yang bernama Bujang Rahman asyik memancing ikan dipinggir sungai besar tersebut. Karena memang, diwaktu hujan, memancing disungai tersebut sangat mudah mendapatkan ikan.


Sedang asyiknya memancing, Bujang Rahman tidak menyadari bahwa air bah, atau air besar dari hulu begitu deras memporak-porandakan pinggiran sungai. Air mengaum bersama pepohonan yang tumbang, Bujang Rahman terkesiap, dan berusaha menyelamatkan diri, namun malang baginya, kakinya terpeleset dan tersambar air bah. Sementara ayah dan ibunya yang melihat ketika akan memanggilnya pulang, menjerit histeris menyaksikan buah hati belahan jantung, anak semata wayang yang dikasihi  terseret dan hilang didalam air bah yang datang. Ibunya menangis meraung-raung seraya menjambak rambutnya hingga berguguran helai demi helai. Sedangkan siayah terjun kesungai untuk mencari anaknya.
Ketika hujan rea, penduduk mendengar suara jeritan dan ratapan isterinya dipinggir sungai yang menggaung. Lalu pendudukpun berlari kesana dan menyaksikan si ibu yang menangis meratapi sungai seraya meraung, menjerit dan meratapi suami dan anaknya yang telah hilang ditelan gelombang.
Tujuh hari tujuh malam, penduduk mencari menelusuri sungai tersebut, namun tiada diketemukan jejaknya. Si ibu selama itu terus menangis meraung-raung hingga suaranya hilang.
Pada suatu malam si ibu bermimpi bahwa anaknya telah berubah menjadi seekor Ikan Semah bermata merah yang besar, ia berkata kepada ibunya “Ibu, kalau engkau ingin menemuiku, datanglah kesungai pada tiap malam jum’at dan taburkanlah beras kunyit, aku akan datang padamu, bawalah jala atau tangguk dan ambilah ikan dibelakangku untuk menghidupi ibuk”.
Begitulah, tiap malam jum’at si ibu datang kesungai memanggil anaknya dan membawa ikan-ikan dibelakang anaknya. Namun aneh, setiap kali ia memanggil anaknya, sungai bergemuruh atau meraung bunyinya.
Suatu ketika, seorang penduduk memancing disungai dan mendapat ikan semah besar bermata merah. Ia kegirangan, namun tengkuknya bergidik, karena ketika ia mendapat ikan tersebut, air begitu deras dan meraung-raung bunyinya. Anehnya lagi, ketika ikan tersebut digantung didapur, ia makinlama bertambah panjang. Siibu yang mendengar keanehan tersebut berlari menghampiri rumah penduduk tersebut dan berkata agar ikan semah mata merah tersebut dikembalikan kesungai karena ikan tersebut adalah jelmaan dari anaknya Bujang Rahman.
Penduduk pun sepakat untuk mengembalikannya kesungai, dan setiap kali apabila ikan tersebut kena pancing, ia akan kembali memanjang dengan kesendiriannya, dan pendudukpun akan melepaskannya kembali.
Setiap malam jum’at, dan ketika ikan semah bermata merah kena pancing, suara sungai begitu aneh, seakan-akan meraung meratapi sesuatu. Dan mulai saat itu penduduk menamainya dengan sungai Batang Meraung. Namun lama kelamaan, kata meraung berubah menjadi “merao” atau “marawa” atau sungai ratapan.

Demikianlah legenda asal usul Sungai batang Merao yang membentang dari Kerinci Hulu sampai bermuara di Danau Kerinci.

Jumat, 11 Desember 2015

LEGENDA SIULAK GEDANG (WILAYAH RAJO SIMPAN BUMI/RAJO GEGAR ALAMSYAH)


Menurut riwayat/cerita (lisan to lisan) orang tua-tua di Desa Siulak Gedang Kecamatan Siulak Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi  menuturkan bahwa Siulak sebelum bernama Siulak namanya adalah Dusun Jambu Alo yang termaktub dalam Wilayah Desa Telago Biru sekarang pemekaran dari Desa Siulak Gedang. Cerita ini dibuat oleh Bapak Basari Rina (mantan Guru MIN Siulak Gedang). Benar atau salahnya cerita ini Wallahu alam bissawaf

ASAL USUL NAMA SIULAK
Oleh : Basari Rina

Dahulu kala, disaat pemikiran dan kebudayaan suatu daerah masih sederhana dan bersifat homogen, hidup sangatlah sederhana. Masyarakat merasa tenteram dibawah naungan dan lindungan raja yang adil bijaksana.
Biasanya disuatu daerah kalau penduduknya padat atau rapat, para petua atau penghulu kampung sudah merancang untuk mencari tempat pemukiman baru yang dapat diolah dan dijadikan tempat bercocok tanam, seperti menanam ubi-ubian, padi yang dapat memenuhi kebutuhan keluarga.
Demikian para penghulu berpendapat sebelum terlambat, “Mari kita urak sila ayunkan tangan, serta langkahkan kaki demi anak cucu dikemudian hari. Dan kita tinggalkan tempat ini”. Kata pak tua yang mengepalai rombongan.
Keesokan harinya, sebelum matahari naik, berangkatlah utusan dengan menelusuri arah utara Batang Merao (Sungai Kerinci). Akhirnya mereka menemukan sebuah padang yang luas ditumbuhi oleh jambu Alo (dalam bahasa Siulak dinamakan Jambu Kreh).
Sambil mengaso sejenak, mereka duduk memakan sirih dan menghisap rokok enau serta mengobrol. “Tanah ini cocok untuk dijadikan lahan persawahan dan peladangan, sekaligus tempat bermukim kita yang baru..!” kata salah seorang utusan tersebut.
“Benar..!” kata temannya. Lalu mereka memeriksa tanah tersebut. Ternyata memang benar. Akhirnya setelah mendapat kata sepakat, mereka kembali ke dusun, dan malamnya mereka mengadakan musyawarah mencari kata sepakat dan menceritakan hasil temuan mereka akan lahan baru tersebut. Dan dari hasil musyawarah, lahan baru tersebut dinamakan Jambu Alo.
“Bagi yang sudah berumah tangga diwajibkan pergi menebas dan menebang kayu dilahan baru, dan bagi yang perempuan harus membawa makanan untuk makan siang” demikian titah pak Penghulu Kampung menyampaikan hasil musyawarah. “Iyoo..!” jawab yang hadir serempak dalam logat bahasa Siulak.
Hari berganti hari bahkan sudah dua purnama berlalu, barulah lahan tersebut selesai ditebas dan dibersihkan. Namun bagi kaum laki-laki terus membersihkan lahan tersebut menjadikannya sawah dan ladang. Sementara kaum perempuan menanaminya dengan jagung dan ubi-ubian. Disamping itu, ada pula yang mengumpulkan kayu bakar dan kayu untuk membuat “pundok”/rumah dalam bentuk panjang.
Namun acapkali mereka dikejutkan oleh binatang buas yang diwaktu itu masih banyak berkeliaran, pokoknya pada waktu itu masih seram dan angker, maklum hutannya sangat lebat.
Menjelang panen, sudah banyak warga Koto Payung yang pindah kedusun Jambu Alo. Dan akhirnya, semuanya pindah kedusun baru tersebut. Bekas dusun Koto Payung yang lama itu ada di mudik Desa Pendung atau dekat Batu Besar yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Air Hangat.
Gambar 1. Bekas Dusun Jambu Alo Didesa Siulak Gedang/Telago Biru

Semua warga sudah merasa gembira dan betah di desa Jambu Alo, bahkan ada juga warga dari daerah lain yang pindah dan menetap disana. Kehidupan yang sedang ditata dengan baik dan rapi tersebut tidak berlangsung lama  dinikmati oleh warga dusun, karena setiap purnama tiba masyarakat  diresahkan oleh makhluk halus bernama “Antu Cindai” yang menyerupai anak-anak, ia datang dan masuk kerumah memakan beras dan makanan lalu mengelitik anak-anak, bahkan kaum ibu sudah ada juga yang kena. Mana yang digelitik jadi tertawa dan tidak dapat berhenti. Lama-kelamaan menjadi kejang dan meninggal seketika atau mati ketawa.
Keadaan berlaku setiap mulai purnama dari lima belas hari bulan sampai habisnya purnama. Begitulah kematian misterius itu berlaku. Melihat hal itu, petua adat dan para sesepuh didusun Jambu Alo mengadakan mupakat bagaimana mengatasi keadaan yang sedang melanda kampung mereka. Akhirnya dapatlah kata sepakat untuk memindahkan anak kemenakan kesebuah tempat yang letaknya berdekatan kira-kira sebelah hulu batang merao atau ulaknya sedikit dan masih juga bertepian kebatang merao, juga namanya Pelak Gedang.
Mereka pindah dan membuat perkampungan baru. Disini mereka sudah merasa aman dan tenteramdari gangguan makhluk halus hantu cindai tersebut.
Sekali setahun penduduk mengadakan selamatan tanda syukur kepada sang pencipta pada musim panen raya para petua dari pemuka adat dan pemuka agama berbincang-bincang tentang pembangunan disegala bidang demi kesejahteraan bersama.
Ci Ulak berasal dari bahasa Hindu Kuno (Tamil) yang berarti Ci=Sungai, Ulak=Mudik atau Hulu, jadi Ci Ulak = Dusun di hulu sungai.  Para pendatang menyebutnya siulak. Karena luasnya daerah atau gedang jajahan, masyarakat menamakannya Siulak Gedang. Siulak membentang sampai kehulu Batang Merao seperti Siulak Deras, Siulak Tenang, Siulak Panjang, Siulak Mukai, Siulak Kecil bagian hilir. Kesemua penduduknya masih serumpun.
Yang disebut Siulak sangat luas, tidak bergabung dengan pemerintah lain atau dari daerah lain. Maka dinamakan Tigo Luhah Tanah Sekudung Siulak, yang daerahnya watas kesebelah hilir dengan Semurup di mudik Jembatan Besi (tempat nenek Jadun), watas sebelah mudik hingga kaki gunung tegep atau gunung kerinci. Siulak Gedang merupakan dusun tertua disiulak Tanah Sekudung.
Nama Ci Ulak atau siulak tidak bisa hilang dari ingatan leluhur sampai anak cucu beliau. Siulak tanah sekudunung tetap hidup dihati masyarakat Ci Ulak.
Demikianlah nama asal-usul asli dari Siulak (Siulak Gedang) yang penulis rekam dari petua adat Siulak Gedang lebih dan kurang penulis mohon maaf.

Siulak Gedang, Juni 2005
Penyusun
                                                              BASARI RINA


Siulak merupakan sebutan untuk Tigo Luhah Tanah Sekudung Siulak yang bernama Kecamatan Gunung Kerinci dahulunya. Kecamatan Gunung Kerinci berada di bawah naungan Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi.
Kecamatan Gunung Kerinci sekarang (2015) sudah mekar menjadi 6 (enam) Kecamatan, yaitu :
1.        Kecamatan Gunung Kerinci Kantor Camatnya di Kelurahan Siulak Deras
2.        Kecamatan Siulak Kantor Camatnya di Dusun Baru Siulak
3.        Kecamatan Siulak Mukai Kantor Camatnya di Mukai Pintu.
4.        Kecamatan Kayu Aro Barat Kantor Camatnya di Bedeng Delapan
5.        Kecamatan Kayu Aro Kantor Camatnya di Kersik Tuo,
6.    Kecamatan Gunung Tujuh Kantor Camatnya di Pelompek

Gambar 2. Makam Gegar Bumi Alamsyah (Rajo Simpan Bumi) Asal dari Kerajaan Indrapura



Gambar 3. Wilayah Desa Telago Biru dan Siulak Gedang


Gambar 4. Peta Tempat Dusun Jambu Alo di Telago Biru/Siulak Gedang


Gambar 5. Lambang Lembaga Adat Desa telago Biru

SUSUNAN LEMBAGA ADAT DESA TELAGO BIRU
KECAMATAN SIULAK KABUPATEN KERINCI
TAHUN 2014 S/D 2017


1. Kepala Desa                        : Apnajar
2. Sekretaris Desa                   : Zarmoni, Dt. Rajo Sulaiman (alam Minangkabau) 
                                                    Saleh Bujang Sandang Mawei (alam Kerinci)

1. Ketua Adat                          : H. Djohardi, Dpt. Gelar Depati Sungai Langit Kecik
                                                    (Dari Luhah Jagung Indah)
2. Wakil Ketua                        : Tazar, Gelar Tumenggung Adil Bicaro
                                                     (Dari Luhah Tumenggung Kayo)
3. Sekretaris                            : Zarmoni (Bujang Sandang Mawei)
                                                    (Dari Luhah Tumenggung Kayo)
4. Wakil sekretaris                 : Jalinus Can, S.Ag (Ninik Mamak Limo Puluh Kuto/alam 
                                                    Minang Kabau  PWK. Siulak)
5. Bendahara                          : Zukri, Dpt. Gelar Depati Mangku Bumi Payung Alam
                                                   (Dari Luhah Serajo)

ANGGOTA :
1.    MAT AFINI, S.Pd Gelar Depati Semurup Sanggup Galo
2.    SYAMSURUDDIN, Dpt Gelar Rajo Simpan Bumi Tunggun Sitio Tanah Indropuro
3.    M. RUSLI
4.    KASRUL RAIS Gelar Rio Mudo
5.    YUSRANUDIN Gelar Rajo Liko
6.    DARUSSAMIN


Pada Tahun 2012 : kami warga Siulak Gedang anak Buah/anak kemenakan/anak cucu/anak cicit dari Rajo Simpan Bumi /Gegar Alamsyah pernah ke Indropuro (indrapura) melayat dan mengunjungi sanak keluarga disana dan masyarakat disana menunjukkan tanah warisan dari Rajo Gegar Alamsyah untuk saudara jauh di Siulak Gedang yang hingga saat ini belum diambil.






<body oncontextmenu='return false;' onkeydown='return false;' onmousedown='return false;'/>